Rahim Yang Melahirkanmu
Taken from Ana Deanthung's facebook notes on Hari Kartini Ktika ada seseorang merendahkan wanita,, tanyalah,, dari rahim siapa dia dilahirkan
April 21, 2014 at 11:21pm
Tidak ada kemarahan yang begitu berpengaruh seperti pengaruh dari teladan yang baik (Cut Nyak Dien).
“Kadang kita harus menjerit kesakitan demi melahirkan kebahagiaan yang tak terbeli. Tak percaya? Tanyakan pada ibumu yang melahirkanmu….!!!!”
Rasanya kadang ingin memajang potongan potongan kisah Cut Nyak Dien ini pada dinding dinding yang masih menyepelekan wanita. Yang masih menganggap wanita hanya sebagai konco wingking, menganggap wanita selalu tak mampu ditengah medan perang. Geram, ingin menghantam tapi bukan begitu kodrat wanita berperilaku. Mereka menaklukkan ketidakadilan dengan senyuman, kebijakan, dan pembuktian. Terkadang beberapa kali saya masih mendengarkan beberapa yang menganggap sepele kaum wanita dan mereka lupa bahwa mereka dilahirkan oleh seorang perempuan !!!!!
Masih ingat saat almarhumah IBU berkata “tetaplah bersekolah apapun yang terjadi, jangan kau berpikir biaya, jangan kau berpikir tak mampu, yang menetukan masa depanmu adalah dirimu sendiri. Bapak ibu sudah pasti masa depannya ya seperti ini, tapi kamu? kau yang menetukan….”. Hal yang tak pernah membuat saya berhenti untuk selalu belajar.
Berikut ini adalah petikan tulisan:
NENEK renta itu terpojok sudah. Di kedalaman hutan Meulaboh, Aceh, yang berundak dengan semak dan akar-akar melintang. Hujan cukup deras. Kepungan tentara Belanda dari semua arah semakin mendekat. Bersamanya hanya 5-6 pejuang tersisa, termasuk anaknya, Cut Gambang. Ketika itu tanggal 7 November 1905. Sejak 5 tahun terakhir, hidup berpindah dari satu pojok hutan ke pojok yang lain, pandangan matanya kian rabun. Dan encok makin hari makin menghambat geraknya. Makanan semakin kurang, obat tidak ada. Tapi ia harus terus bergerak dalam perlawanan gerilya terhadap ‘kaum penjarah yang tak tahu malu’ – Belanda.
Salah seorang sandaran kekuatan utamanya, Teuku Umar, belum lama ini syahid kena pelor Belanda. Ketika tentara-tentaranya membawa jasad suaminya itu ke hadapannya, Cut Nyak Dhien, si perempuan tua itu, menatap jasad tak bernyawa itu dengan nanar. Cut Gambang, putri semata wayang, tak kuasa menahan sedih dan pedih, ia merangkul jasad sang ayahanda dengan isak tangis pilu.
Mata nanar perempuan tua itu tiba-tiba berubah tajam. Ia menarik Cut Gambang yang tengah dirundung sedih itu dan menamparnya – plak!: “Dengar!” Bentaknya, “Sebagai perempuan Aceh, jangan meneteskan air mata atas orang yang syahid!” Namun setelah itu Cut Nya segera merangkul sang putri. Para pasukan hanya berdiri menatap pertunjukkan ketegaran baja wanita ini. Dan kini, jumlah pasukannya tinggal beberapa. Sebagian syahid, sebagian tak tahan menanggung kesukaran hidup bergerilya sedemikian lama.
Tapi tekad dan semangat Cut Nya tak seujung rambut pun terkurangi dengan berkurangnya pasukan. Bahkan rabun dan encoknya tak juga menyurutkan semangatnya yang entah terbuat dari apa. Hujan tetap deras dan langkah tentara-tentara Belanda makin terdengar mendekat. Mungkin sudah dalam jarak puluhan meter. Dan langkah-langkah itu terdengar dari semua arah, menuju tempatnya, di bawah rimbunan semak hutan Beutong Le Sageu.
Sejurus kemudian, bahana teriakan perang terdengar dari jarak itu. Teriakan perang 5-6 tentaranya yang masih tersisa. Lalu bunyi rentetan senapan dan jerit kematian memenuhi udara. Satu suara jeritan ia kenali benar: itulah jeritan Pang Karim, salah seorang panglimanya yang telah bersumpah untuk melindungi dirinya sampai mati. Ia memenuhi sumpahnya – mati sebagai pejuang terakhir dan satu-satunya yang bertempur di samping dirinya. Tjut Gambang, sang putri, berhasil lolos dari kepungan. Setelah teriakan kematian Pang Karim, tentara Belanda kini berjajar di hadapan, di samping, dan di belakangnya.
Ia pun melihat orang yang dikenalnya di antara kafir-kafir Belanda itu, yakni Pang Laot Ali – panglima utamanya sendiri. Bara di dadanya menyala: panglima kepercayaannya kini berpihak kepada musuh — dalam keadaan seperti ini; ketika ia tinggal sendiri, terpojok, terkepung. Kapten Belanda Veltman dan para serdadunya berdiri di hadapan Tjut Nya, yang tengah duduk sambil berdzikir.
Agak lama mereka berdiri terpana, tanpa suara, hanya memandang pejuang wanita itu. Mungkin mencoba mengerti bagaimana perempuan udzur ini bisa menggelorakan perlawanan gigih selama 25 tahun? Perlawanan yang menelan banyak korban, termasuk para perwira Belanda? Perlawanan yang menimbulkan kekisruhan besar di kalangan mereka? Tanpa persenjatan yang layak? Dengan kekurangan makanan? Tanpa tempat berteduh yang memadai? Dari dalam hutan?
Veltman dan dua ajudannya mendekat, berjongkok dengan khidmat, menyapa Tjut Nya dengan santun: “Tjut Nya, maafkan saya. Saya kapten Veltman. Saya melaksanakan tugas sebagai serdadu. Saya ditugaskan untuk membawamu..” Beberapa serdadu Belanda menyiapkan tandu untuk membawa nenek yang tampak sudah begitu lemah itu. Valtmen terus membujuk, sementara Tjut Nya tak henti-hentinya menggumamkan dzikir. Veltman merasa bujukannya tak didengar, ia lantas memberi isyarat kepada Pang Laot Ali untuk membantu.
Pang Laot Ali menghampiri, ikut membujuk: “Tjut Nya, ini demi kesehatanmu. Aku lakukan ini demi kesehatanmu. Mereka berjanji akan merawatmu dengan baik. Jangan salah mengerti…” Belum selesai kalimat Pang Laot Ali, Tjut Nya menarik rencong dari balik kainnya dan menebaskan ke tubuh Pang Laot. “Pengkhianat!” teriak Tjut Nya. Keributan terjadi. Para serdadu Belanda segera melerai. Pang Laot Ali terluka. Tjut Nya masih mencoba menyabetkan rencongnya ke arah Valtmen dan serdadu-serdadu di sekitarnya, namun badannya terlalu lemah.
Para serdadu berhasil meredam amukannya. “Pang Laot! Kau aib buat kami!” teriak Tjut Nya lagi. “Ya Allah ya Tuhan. Inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir.” Cucu angkatnya selama di hutan mendekat dan memeluk Tjut Nya. Tjut Nya memeluknya pula erat, berkata di telinga anak lelaki itu: “Jangan pernah engkau khianati negeri ini, Nak…” Setelah beberapa saat, Tjut Nya lalu ditandu oleh para serdadu Belanda, menuju Banda Aceh.
***
Tjut Nya’ Dhien adalah seorang putri bangsawan Aceh. Selain kaya, ia dan keluarganya juga berkuasa. Dia hidup berkecukupan. Kehadiran Belanda di tanah Aceh pun tidak mengganggu kehormatan dan kekuasaannya. Tapi dia melihat masyarakatnya menderita oleh penindasan pemerintahan Belanda. Dan ia memilih meninggalkan harta dan kekuasaan pribadinya untuk membela rakyatnya. Akibatnya, Belanda pun menganggapnya musuh.
Tjut Nya memang menempatkan dirinya setegas-tegasnya sebagai musuh Belanda. Apa boleh buat, suami pertamanya, Ibrahim Lamnga, tewas di tangan Belanda. Lalu ia membawa pasukannya hijrah ke hutan untuk perang gerilya melawan Belanda. Dengan dukungan rakyat, pasukannya cukup besar, akomodasi tak kurang. Tambah kuat setelah Teuku Umar bersanding dengannya sebagai suami. Tapi Teuku Umar pun syahid. Setelah itu ia memimpin sendiri peperangan. Dengan pasang surut, sampai kepada menit-menit yang tergambarkan di atas – selama lebih dari 25 tahun.
***
Menyimak kisah dia, sungguh saya merasa kerdil. Dalam logika alam pikiran sekarang, dalam ‘akal sehat’ zaman ini, sikap Tjut Nya itu terdengar sangat-sangat utopis. Mungkin orang akan mengatakannya bodoh. “Makan tuh martabat. Kalau tak ada harta, emang bisa beli beras, rumah, mobil, pake martabat?” Mungkin begitu ungkapan orang zaman sekarang tentang heroisme, keteguhan pendirian, harga diri, kedaulatan diri, martabat. Namun, sungguh, sesinis-sinisnya orang; serasional-rasionalnya orang sekarang, tak bisa saya membayangkan, ya, sekedar membayangkan hidup tanpa pendirian tertentu, keyakinan tertentu, tanpa kesetiaan kepada sesuatu, yang saya pegang erat sepenuh hati.
Tjut Nya, dan pribadi-pribadi agung lain, tak merasa hidup kalau sekedar untuk kenyang dan senang. Ada hal-hal yang diagungkan dan disetiai dalam hidup. Dan yang diagungkan dan disetiai itu pastilah yang melebihi dirinya. Dengan nilai itulah hidup manusia menjadi bermakna. Kesetiaan kepada keyakinan. Kesetiaan kepada kebenaran. Kesetiaan kepada sesama. Kesetiaan kepada tanah air. Terlalu usangkah kata-kata ini? Apa yang engkau rasakan bila engkau mengorbankan segala sesuatu, termasuk nyawamu, sebagai wujud kesetiaanmu kepada sesuatu yang engkau yakini benar? Bukankah engkau merasakan makna hidup? Kepuasan jiwa? Dan setelah ini engkau rasakan, bukankah uang, mobil, rumah, menjadi tampak sepele? Sesepele-sepelenya?
Mungkin, bila orang zaman sekarang menyaksikan peristiwa di atas, akan berujar: “Kasihan ya. Hidup sakit-sakitan. Di buang. Dikhianati orang-orang sendiri. Buat apa sih nyengsara diri?” Saya tak hendak menanggapi ungkapan seperti ini. Saya hanya menunjukkan fakta saja: Nama Tjut Nya tertulis dengan tinta emas dalam buku sejarah. Bahkan sejarah dunia. Namanya terus menerus mengilhami banyak manusia dalam keteguhan dan hasrat akan kehormatan diri, kedaulatan negeri; lukisan wajahnya seakan tak terhindarkan mata; ia ada di dinding ruang kelas sekolah, di galeri seni, di musium, di buku-buku, di lembar uang.
Apakah tidak terwariskan padamu, sedikit saja, ya, setetes kecil saja, kesetiaan kepada tanah air? Kepada bangsa? Kesetiaan kepada kehormatan diri? Tak usah dengan mengorban seluruh hidup dan harta seperti dia, cukup dengan kerja sungguh-sungguh untuk kebaikan dan kemaslahatan sesama; menjaga dengan sungguh-sungguh anugrah Tuhan yang maha pengasih berupa kekayaan alam yang berlimpah ini. Cukup dengan tidak mengkhianati sesamamu. Bangsamu.
Antara Tjut Nya dan kita tidak dipisahkan oleh jenis spesies atau planet. Dia dan kita masih berada dalam satu spesies yang disebut manusia, masih dalam udara yang sama, makanan dan minuman yang sama, bahkan satu rumpun. Jadi, sikap, pendirian dan alam pikiran Tjut Nya bisa kita miliki juga. Atau kita menganggapnya tak mungkin, tak masuk akal, karena akal kita memang sudah begitu kerdilnya?
SELAMAT HARI KARTINI