SEMUSIM MENCINTAIMU
SEMUSIM MENCINTAIMU
Masih kupandangi senja yang mulai mengabur. Hela nafas panjang masih menyentuh rongga dadaku, tapi sesak masih kurasa menghimpit ragaku. 35 tahun yang lalu aku dilahirkan didesa ini, desa yang kecil, pepohonan yang masih menjulang, remah-remah bauan tanah masih kental kuhirup, lalu lalang senyum petani yang masih kuhafal, semuanya tersimpan rapi diharddisk hatiku, begitu sempurna, hingga ku mulai melangkahkan kakiku dijakarta, kota yang memberikan seribu janji dan mimpi , sampai akhirnya kedua orang tuaku memintaku pulang, masalah klasik yang sebenarnya tak ingin mengusik kehidupanku. Aku lima bersaudara dan tinggal aku saja yang belum menikah, yang kata orang menikah hanya nikmat 5 %, sisanya sangat luar biasa nikmatnya,tapi bagiku tidak, aku menyukai kehidupan lajang seperti sekarang.Aku malas terikat oleh suatu ikatan yang bernama perkawinan, bagiku dia takkan menyelesaikan masalah , hanya menambah beban hidup saja, lalu bagaimana kalau aku bosan,hanya diam dirumah menjadi anak baik-baik, mengantar istri belanja, mengganti popok bayi, membayangkan saja kepalaku hampir pecah………
“Gani masuklah, keluarga pak Mitro sedang menunggu” sapuan halus tangan ibu dipundakku menghalau semua lamunan, sekilas kutatap wajahnya yang mulai mengerut, ibuku mulai beranjak senja seperti sore ini. Ahhhh sudahlah, aku ikuti langkah-langkah anggun bidadari yang melahirkanku, sekarang aku harus mengikuti langkahnya dan juga mengikuti keinginannya menikah dan mendapatkan cucu dari anak lelaki satu-satunya yaitu aku “GANI AWAN NEGARA” .diruang tamu tampak tiga tamu yang tersenyum padaku, dan salah satu diantara mereka tersenyum simpul menahan malu kepadaku, kulihat pipinya merona, ibuku menggandeng lenganku untuk mendekat padanya, GANI…..SAVITRI begitulah kami berkenalan, mungkinkah orang ini yang akan mendampingiku, yang dengannya kuhabiskan waktuku, dan kepadanya akukan berkeluh kesah…..oh my god bukan pilihan hatiku, dia terlalu lugu, cantik alami khas orang desa, apa kata teman-teman clubbingku, kulihat jarak bumi dan langit semakin jauh, pikiranku masih menari bersama gadis-gadis metro,yang tahu benar dimana mereka harus meletakkan maskara, tahu apa warna lipstik yang membuat para lelaki takhluk padanya, tapi makhluk didepanku? Sapuan bedaknya hanya tipis merata, rambutnya yang lurus tergerai begitu saja.
Sejak perkenalan itu keluargaku memutuskan untuk melakukan lamaran ,seminggu kemudian janur kuning mulai melengkung dirumah Savitri.Aku hanya menunaikan tugasku sebagai seorang anak walau bukan putri salju yang menjadi istriku, toh pernikahan hanyalah sebuah tanda tangan diatas kertas, dan saling melingkarkan cincin dijari manis, tak lebih. Tapi saat ikrar diucapkan kulihat tatapan haru dimata savitri, tatapan ketulusan, tatapan harapan, tapi tubuhku seperti terhempas menabrak batu karang, sakit menghujani hatiku, sungguh bukan pilihan.
Dan Jakarta awal dari neraka itu dimulai
“Mas sarapannya dimakan dulu”
“Ya” jawabku singkat acuh tak acuh dia gadis baik, rasanya sangat tak tega melukai hatinya, tapi entahlah hatiku tak mau melunak menerimanya, malam pertamaku kutunaikan sebagai kewajiban seorang suami pada istri, setidaknya satu hal ini yang membuatku terhibur, tapi entahlah aku begitu muak dengan basa basinya, aku lebih banyak menghabiskan waktuku dikantor, menenggelamkan waktuku di club-club tempat aku biasa kongkow. Hari ini aku pulang dari clubbing hingga jam 12 malam, sampai dirumah aku masih mendapati senyum savitri yang selalu berpendar, aku berlalu begitu saja masuk kedalam rumah, meninggalkan tangannya yang meraih tas kerjaku, kubuka satu persatu pakaianku dan kuganti dengan pakaian yang telah disiapkannya.
Aku berlalu meninggalkannya menuju ruang tengah, masih kulihat dia meraih baju-bajuku yang berserakan dilantai dan memasukannya dalam susunan daftar yang harus dicuci. Ku rebahkan tubuhku di sofa melihat acara-acara yang kusuka di TV, badanku tak terasa mulai menggigil, savitri yang ada didekatku mulai mendekat
“Mas gak papa ?”
“ Gak papa, aku baik-baik saja”tapi badanku tak mau kompromi, aku mulai mual dan memutahkan segala hal yang ada diperutku, secepat kilat aku melihat tubuh savitri mendekat kearahku, dipeganginya leherku sambil dipijit-pijitnya, aku ingat betul dia membersihkan muntahanku dengan kedua tangannya, aku yang melihatnya terasa mual, diambilnya beberapa kain pel untuk membersihkan semuanya.
“Mas biar aku pijat badannya “
“Biar tinggalkan saja, aku akan baik-baik saja” savitri tidak mendengarkan aku bicara, tangannya dengan cepat menanggalkan kaosku, lentik jemarinya mulai mengusap punggungku, aku mulai agak enakan setelah savitri mengusap seluruh tubuhku dengan minyak kayu putih.
“Mas tidurlah didalam” savitri mulai memapahku, menyelimutiku dan kulihat dia duduk dikursi memandangiku yang mulai pura-pura tertidur.
Saat malam gelap, aku melihat tubuh pias savitri yang tertidur dikursi dalam keterjagaan malam, nampak tubuh rampingnya tak mampu menahan kantuk yang sangat.
Sinar mentari pagi menyentuh keningku, tirai jendelaku telah terbuka namun udaranya tak berhasil menyentuh kulitku, aku lihat savitri sudah tak dikursi, mungkin savitri tak ingin membuatku kedinginan hingga hanya tirainya saja yang dibuka. Pintu kamar mulai terbuka, aku masih saja melihat senyumnya yang tak lengkang dihapus waktu, aku mencoba tersenyum padanya, ditangannya kulihat secangkir susu dan sop hangat kesukaanku.
“ Terimakasih, mungkin aku telah merepotkanmu sayang” upss kata sayang meluncur begitu saja dari mulutku, aku lihat rona merah dipipinya, ada rasa bahagia yang sangat dimatanya.
“ Mas besok ibu akan kesini, kemarin sore ibu telpon bahwa paman hamzah akan menghajatkan putrinya”
“Menghajatkan?” aku mengerutkan keningku
“Iya maksud savitri menikah”
Aku menganggukkan kepala, “hemmm aku harus menjemput ibu dan ayahku besok dibandara,lalu bagaimana andainya savitri menceritakan perlakuanku padanya, yang aku tahu ibu dan ayah lebih percaya pada savitri, menantu pilihan mereka itu,sudahlah aku tak peduli, itu akan lebih baik sehingga aku punya alasan untuk bercerai, dan aku juga punya alasan untuk tak terikat oleh sebuah dogma yang bernama perkawinan”
“Eh ibu dan ayah sudah datang, mari bu masuk” aku lihat savitri tanpa kikuk menyambut ayah dan ibu sambil mencium kedua tangannya dengan rasa syahdu yang dalam, aku melihat ketulusan pada semua tingkah savitri, benar-benar wanita jawa yang tulus memberi dan penuh kelembutan, ah sudahlah tak mungkin aku jatuh cinta padanya, aku hanya menjalani ikatan ini yang bernama perkawinan.
“ Bagaimana kamu bahagia?” ibuku membelai rambut savitri yang panjang lurus terurai, aku masih ingat wangi rambutnya setiap saat, ibu melirikku sekilas, begitu pula savitri, jantungku berdegub kencang tak beraturan menanti sepotong jawaban savitri, dia selalu membuatku gugup.
“Saya bu, saya sungguh bahagia…. Mas Gani orang yang bertanggung jawab, dia kepala rumah tangga yang selalu diidam-idamkan seluruh wanita, sungguh pilihan yang benar, dan saya sungguh sangat mencintainya” savitri melangkah mendekatiku, dia jatuhkan tubuhnya disampingku sambil memegang erat jemariku, aku kikuk sesaat, lalu aku mencoba melempar senyum padanya, sambil melingkarkan tanganku dibahunya, membuat savitri bergelayut manja didekapku, sandiwara apalagi yang telah kuperbuat ?
“Lalu kapan kalian memberi kami cucu?”
“Secepatnya” kami berdua menjawab serentak.
Minggu demi minggu telah kami lalui, aku mencoba pulang tepat waktu, menemani savitri belanja, setidaknya mencoba menjadi suami yang baik, walau hatiku sangat tersiksa karenanya, sampai akhirnya aku berhenti menyentuhnya yah savitri hamil, savitri mengandung anakku, tapi sikapnya tak pernah berubah padaku, dia tetap bersikap manis walau aku masih dengan kebasa basianku, sampai akhirnya saat usia kandungannnya mencapai 8 bulan, savitri memintaku untuk mengantarkannya pulang kerumah orangtuanya, aku mengiyakan permintaannya, yang terlintas dalam pikiranku setidaknya aku terbebas darinya, terbebas dari tanggung jawabku.
Tak seperti yang kubayangkan ternyata aku tak menemukan kebebasanku, hari demi hari, aku merasa mulai kehilangannya, tak ada yang menyambutku ditepi pintu saat aku datang, tak ada yang mengusap punggungku saat aku sakit dan terlelah, tak ada yang membuatkanku secangkir kopi disaat aku pergi kekantor.
******Aku memberanikan diri menelponnya***********
“Hallo……”Kudengar suara riang diseberang sana
“ Savitri , bagaimana?”
“Aku sehat-sehat saja Mas, Mas Gani bagaimana?”
“ Aku sehat-sehat saja, Mas ingin menjengukmu, bolehkah? Dua minggu lagi kamu akan melahirkan?”
“ Mas kenapa tidak boleh? Mas boleh datang kapanpun Mas mau, oiya anak kita laki-laki Mas, Savitri kemarin melakukan USG dan savitri ingin anak kita seperti mas”
“ “Seperti mas? Kenapa?”
“ Yah savitri ingin anak kita seperti mas, seperti ayahnya yang sangat savitri cintai”
Lidahku terasa kelu, terasa ada badai yang menghantam dadaku, sesak
“ Savitri, besok Mas ada tugas keluar kota selama seminggu dan mungkin setelah tugas luar kota mas akan menemui kamu”
Aku menutup telponku, ingin rasanya aku ngobrol lama, ingin aku mengatakan bahwa aku sangat merindukannya, ingin memeluknya dan minta maaf padanya, aku terlalu angkuh untuk mengatakannya.
Seminggu sudah aku berada dimedan, dan sekarang aku telah berada dijakarta lagi, ingin rasanya aku cepat-cepat menuju Jogja, memeluk savitriku, dikamar kami aku menatap laptop savitri, laptop yang tak pernah kusentuh, aku mulai membukanya, kubuka folder CINTAKU, aku berdesir mungkinkah savitri mempunyai seseorang yang lain selainku
“12 july 2006”
Kandunganku telah mencapai 7 bulan, sungguh aku merasa bahagia mengandung anak ini, aku sungguh bahagia saat dia memanggilku sayang, persendianku sungguh luruh karenanya, dan sejak saat itu aku berjanji ingin mengabdikan seluruh hidupku padanya, ingin memberikan semua cinta yang kupunya hanya untuknya dan aku tak peduli apapun yang dilakukannya padaku, aku bersedih bukan karena perlakuannya, aku jadi sadar apakah cukup banyak kekurangunku dalam melayaninya, saat menjadi istrinya, aku ingin bertanya tapi aku takut membuatnya marah, bermalam-malam aku sulamkan sweater rajutanku, aku ingin dia memakainya saat ada tugas luar kota, aku tak ingin dia kedinginan. aku ingin pulang kerumah ibu karena aku tak ingin menjadi bebannya, menyusahkannya, aku igin mas gani tetap kosentrasi pada pekerjaannya, aku sungguh mencintainya, Tuhan terimakasih telah kau pilihkan dia dihidupku.”
Aku menangis membaca tulisan savitri, aku segera meraih HP ku, tapi sesaat aku membatalkannya, aku ingin memberinya kejutan, segera ku sambar tas yang telah kusiapkan menuju bandara soekarno hatta, ingin ku segera memeluknya, aku ingin dia memaafkanku, aku ingin dia memberiku sekali lagi kesempatan, aku mengenali rasa ini yah aku telah mencintainya dengan sepenuh hatiku.
Aku menjejakkan kakiku dihalaman ibu mertuaku, aku mencium tangannya khidmat seperti yang biasa dilakukan savitri
“Ibu, savitri mana?”ibu mertuaku terdiam, dia memelukku dengan erat, aku mencoba menenangkannya
“ Nak gani 3 hari yang lalu, savitri mengalami pendarahan hebat, nyawanya tidak tertolong, begitu juga bayinya, ibu berusaha mengabarkan kepadamu, tapi kata savitri saat pertama kali dia masuk rumah sakit, dia berpesan supaya ibu tak menghubungimu, dan ibu terlanjur berjanji padanya,maafkan ibu nak, maafkan”
Aku tertunduk lemas, aku tak tahu apakah aku masih menginjak bumi
“ Savitri, benarkah permintaan maafku terlambat?”